Kutukan Juara Bertahan Kembali Terjadi di Piala Dunia 2026

 


Piala Dunia 2026 kembali menegaskan sebuah ironi klasik sepak bola: status juara bertahan bukan jaminan kejayaan. Untuk kesekian kalinya dalam sejarah, sang kampiun edisi sebelumnya justru tersandung lebih awal, menghidupkan kembali apa yang dikenal sebagai kutukan juara bertahan.

Kutukan itu belum patah—malah semakin nyata.

Tekanan Nama Besar yang Terlalu Berat

Datang sebagai juara bertahan berarti membawa beban ekspektasi raksasa. Setiap langkah diawasi, setiap kesalahan diperbesar. Lawan-lawan bermain tanpa beban, menjadikan sang juara sebagai target utama.

Di Piala Dunia 2026, tekanan itu kembali terasa sejak laga pertama.

Lawan Lebih Siap, Strategi Lebih Terbaca

Status juara membuat gaya bermain mudah dipelajari. Lawan datang dengan analisis mendalam, pressing terukur, dan pendekatan pragmatis. Hasilnya, sang juara kerap kesulitan menembus pertahanan yang disiplin dan agresif.

Sepak bola modern tak lagi memberi ruang bagi kejutan lama.

Perubahan Generasi yang Tak Mulus

Banyak juara bertahan memasuki fase transisi. Beberapa pemain kunci menua, sementara regenerasi belum sepenuhnya matang. Ketidakseimbangan ini membuat performa menurun, terutama saat menghadapi tim muda yang lebih segar dan lapar prestasi.

Sejarah yang Terus Berulang

Fenomena ini bukan hal baru. Dalam beberapa edisi terakhir Piala Dunia, juara bertahan sering gagal melangkah jauh. Polanya serupa: awal turnamen yang tersendat, tekanan meningkat, dan akhirnya tersingkir lebih cepat dari dugaan.

Piala Dunia 2026 hanya memperpanjang daftar itu.

Apakah Kutukan Ini Nyata?

Secara teknis, “kutukan” hanyalah istilah. Namun fakta berbicara: mempertahankan gelar Piala Dunia adalah tantangan paling berat di sepak bola internasional. Kombinasi tekanan mental, evolusi taktik, dan kesiapan lawan membuat misi tersebut hampir mustahil.


Piala Dunia 2026 kembali membuktikan bahwa sejarah tak bisa diabaikan. Juara bertahan kembali tumbang, dan kutukan itu terus hidup. Dalam sepak bola, masa lalu hanya memberi kehormatan—bukan jaminan masa depan.

Di Piala Dunia, setiap edisi selalu dimulai dari nol.

Lebih baru Lebih lama